Dalam dunia pendidikan pembicaraan tentang prestasi merupakan hal yang biasa. Di sekolah siswa selalu diajarkan dan diarahkan untuk berprestasi. Sebab salah satu tujuan pendidikan adalah menghasilkan manusia-manusia yang berprestasi, baik secara akademis maupun non-akademis. Lembaga-lembaga pendidikan yang terkenal di dunia biasanya menghasilkan siswa-siswa yang berprestasi. Mereka yang memahami filosofi pendidikan tentunya akan menempatkan prestasi siswa sebagai kebutuhan utama.
Keinginan untuk berprestasi merupakan sebuah kebutuhan pada masyarakat maju dan modern. Abraham Maslow, seorang ahli psikologi, dalam karyanya tentang hierarki kebutuhan manusia membagi kebutuhan kedalam lima tingkatan. Tingkatan tersebut adalah kebutuhan fisiologis (physiological), kebutuhan akan rasa aman (safety), kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki (love/belonging), kebutuhan akan penghargaan (esteem), dan kebutuhan akan aktualisasi diri (self-actualization).
Masyarakat yang masih berkutat pada cara-cara memenuhi kebutuhan fisik dan biologis seperti makan, minum, tempat tinggal dan sex berada pada tingkat yang terendah (fisiologis) dalam hierarki Maslow. Sementara masyarakat yang sudah memikirkan tentang penghargaan dan aktualisasi diri berada pada tingkat tertinggi.
Prestasi merupakan bentuk dari kebutuhan manusia akan penghargaan dan aktualisasi diri. Pada masyarakat seperti ini mereka sudah tidak lagi disibukkan dengan urusan sembako dan keamanan, melainkan bagaimana berprestasi setinggi-tingginya dan sebanyak mungkin.
Sebenarnya dalam diri setiap orang terdapat sebuah hasrat untuk berprestasi. Hasrat ini bila semakin kuat dorongannya dalam diri seseorang akan menjadi sebuah kebutuhan. Kebutuhan untuk berprestasi ini oleh David McCLelland dinamakan Need for Achievement atau lebih dikenal dengan singkatan N-ACh. Orang yang memiliki N-ACh tinggi biasanya suka akan tantangan dan kebebasan berekspresi. Bagi mereka kepuasan yang sesungguhnya adalah ketika masyarakat mengetahui prestasi yang diraihnya.
Menurut David McClelland keinginan untuk berprestasi ini bersumber pada:
1. Orangtua yang pada masa kanak-kanaknya diberi (encouraged) kebebasan.
2. Pujian dan penghargaan (rewards) pada sebuah keberhasilan yang dicapai.
3. Berpikir positif untuk selalu mencapai prestasi.
4. Pencapaian prestasi dianggap sebagai hasil usaha dan kompetensi seseorang, bukan sebagai keberuntungan.
5.Hasrat untuk menjadi lebih efektif dan selalu ditantang.
6. Kekuatan dalam diri (intrapersonal) seseorang.
Memang tidaklah mudah untuk berprestasi karena prestasi itu merupakan buah dari kerja keras, ketekunan, kesabaran, dan tentunya disiplin. Tidak semua orang mau menjalani tahapan tersebut karena tahapan itu dianggap sukar untuk dijalani, membutuhkan pengorbanan materi, mental, serta memakan waktu yang tidak sebentar. Kebanyakan dari kita tidak mau berkorban sekalipun untuk kemajuan diri kita sendiri. Kita lebih suka memilih sebuah kemapanan yang tidak membutuhkan banyak pengorbanan. Tanpa disadari kita telah dihinggapi virus "malas". Malas untuk belajar dan malas untuk bekerja yang kemudian akan membuahkan kemalasan-kemalasan lainnya. Kemalasan membunuh kreativitas dan masyarakat yang malas adalah masyarakat yang miskin prestasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar