Kamis, 07 Agustus 2008

Pendidikan (Belajar) Adalah Proses

Warren Buffet:
"Enjoy the process far more than the proceeds"

Pernahkan Anda mendengar nama Warren Buffet? Bagi kita yang bergelut dalam dunia pendidikan, nama tersebut tentunya sangat asing. Tidak demikian halnya dengan mereka yang bergelut dalam dunia bisnis dan perdagangan saham.

Warren Buffet adalah orang terkaya di dunia saat ini dengan total kekayaan 62 milyar dollar. Ia mengalahkan bos Microsoft, Bill Gates, yang menjadi orang terkaya di dunia selama 14 tahun berturut-turut.

Anda masih bertanya-tanya: "Lantas apa hubungannya orang terkaya di dunia itu dengan carut-marutnya dunia pendidikan kita". Sebenarnya tidak ada hubungan secara langsung antara dunia pendidikan kita dengan Warren Buffet. Coba simak perkataannya di atas: "Enjoy the process far more than the proceeds". Warren Buffet mengajarkan kepada kita untuk lebih menghargai sebuah proses daripada hasil yang ingin dicapai. Mari kita lihat hubungannya dengan pendidikan kita saat ini.

Tahukah Anda mengapa ujian nasional banyak diprotes dan model pembelajaran yang diterapkan di kelas selama ini banyak menuai kritikan? Harian Kompas pada 11 Mei 2008 memuat berita tentang evaluasi terhadap pelaksanaan Ujian Nasional, berikut kutipannya: "Tiga persoalan dalam pelaksanaan UN. Pertama, persoalan dasar asumsi, yaitu untuk menunjukkan anak-anak Indonesia pintar, diterapkan standar kelulusan, tidak kuat. Kedua, pendekatan UN yang lebih berorientasi pada output, hasil akhir, yaitu angka kelulusan yang semakin tinggi. Tetapi UN kurang memperhatikan proses, sedangkan dalam dunia pendidikan proses merupakan bagian sangat penting. Kalau mengutamakan output, guru tidak peduli cara belajar anak. Yang penting angka ujian mencapai 4 atau 5 sesuai standar yang dimaui. Ketiga, UN dilakukan secara nasional, tapi ibarat UN itu ukuran mirip meteran, sedangkan yang diukur berbeda-beda".

Di lain pihak, Education Forum menilai kondisi pendidikan Indonesia sekarang semakin mengkhawatirkan karena telah menciptakan rasa tidak nyaman, ketakutan, dan tidak menyenangkan bagi peserta didik.

Tharman Shanmugaratman, mantan menteri pendidikan Singapura mengatakan: "Pendidikan berkualitas tidak sekedar melihat kemampuan berdasarkan nilai kelulusan ujian. Pendidikan berkualitas berorientasi menghasilkan generasi inovatif yang siap bersaing di era global. Pendidikan di sekolah justru harus mampu menghargai dan mengembangkan kemampuan dan perspektif yang beragam dari setiap individu siswa".

Ujian Nasional merupakan gambaran buruknya pelaksanaan pendidikan Indonesia yang mengabaikan proses dan lebih mengutamakan hasil. Untuk mendapatkan hasil banyak cara dapat dilakukan, bahkan semua cara bisa dihalalkan. Tapi coba lihat berapa banyak orang yang mau melewati sebuah proses untuk mendapatkan hasil. Kebanyakan orang akan memilih menghindari sebuah proses dan ingin langsung mendapatkan hasil. Hasil memang perlu, tapi bila hasil yang dicapai tidak melalui sebuah proses yang benar dan tepat, maka percumalah hasil tersebut. Sama seperti garam yang sudah tidak asin lagi.

Secara umum memang masyarakat kita masih belum bisa meninggalkan metode-metode lama dalam kegiatan belajar-mengajar. Pada dasarnya keengganan untuk berubah berpangkal pada ketakutan akan akibat atau hasil dari perubahan. Faktor lainnya adalah masyarakat kita sudah merasa nyaman dengan model pendidikan yang diterapkan selama ini. Dua hal di atas menjadi penghalang terbesar dalam mereformasi dunia pendidikan.

Departemen Pendidikan seharusnya bertanggung jawab atas permasalahan pendidikan yang terjadi selama ini. Namun, sering terjadi kesalahan yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan ditimpakan ke pundak para guru. Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan, bukannya melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang dibuatnya tetapi justru lepas tangan.

Sepertinya pemerintah lupa bahwa pendidikan, peserta didik, dan guru adalah sebuah investasi untuk masa depan. Nyata sekali bahwa pemerintah setengah hati untuk memajukan dunia pendidikan. Pemerintah memotong anggaran pendidikan sebesar 10 hingga 20 persen dari APBN. Yang lebih parah lagi pemerintah tidak punya perhatian sama sekali terhadap perpustakaan. Padahal perpustakaan merupakan jantung dari pendidikan. Pengurangan anggaran pendidikan berimbas pada pengurangan anggaran untuk perpustakaan. Secara resmi Departemen Pendidikan telah mengurangi anggaran untuk perpustakaan sebesar 10 persen.

Dalam sejarah manusia, tidak ada bangsa atau negara yang menjadi maju dan hebat tanpa disertai pendidikan yang maju. Sebuah peradaban yang maju selalu dibarengi oleh pengelolaan pendidikan yang baik dan didukung oleh perpustakaan yang maju pula. Bangsa Mesir, Sumeria, Assyria, Babilonia, Media Persia, Arab, Macedonia (Yunani), Romawi, Kerajaan Inggris, dan Amerika Serikat menjadi hebat karena memiliki pendidikan dan perpustakaan yang hebat pula.

Mungkin pemerintah Indonesia perlu meniru cara-cara Warren Buffet dalam mengelola sumber daya yang dimilikinya. Dalam berinvestasi Warren Buffet tidak pernah menerapkan prinsip beli saham, tapi membeli bisnis (buying a business not share). Ia tidak mau berspekulasi untuk mendapatkan keuntungan sesaat dengan membeli saham-saham yang lagi bagus. Tapi, ia lebih mementingkan sebuah investasi jangka panjang dengan membeli perusahaan yang memiliki prospek bisnis yang cerah sekalipun kelihatannya pembelian tersebut akan mengakibatkan kerugian saat ini.

Demikian juga halnya dengan pendidikan dan pengembangan perpustakaan. Pemerintah pasti akan mengeluarkan banyak biaya untuk mereformasi dunia pendidikan dan mengembangkan perpustakaan. Sama seperti halnya sebuah investasi, hasilnya belum bisa kita rasakan sekarang tapi baru dapat dilihat di masa yang akan datang. Pendidikan sangat mengutamakan proses karena pendidikan itu sendiri adalah sebuah proses.

Tidak ada komentar: